Pemulihan Atas Hubungan Yang Rusak
BAHAN KHOTBAH IBADAH HARI MINGGU KE – VI PRAPASKAH INVOCAVIT
Yohanes 4 : 1 – 8
Dalam
kehidupan manusia, perbedaan adalah suatu ciri khas dari kehidupan sosial.
Perbedaan bisa dipandang sebagai kekayaan karena perbedaan mengantar kita pada
keberagaman. Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman. Ada banyak
suku dan ada banyak bahasa daerah. Keberagaman adalah suatu kekayaan bagi
sebagian orang, tetapi perjalanan sejarah seringkali membuktikan bahwa keberagaman
dan perbedaan adalah suatu ancaman bagi sebagian orang. Faktanya cukup jelas
yaitu Indonesia melalui masa kelam ketika terjadi peristiwa penyerangan
terhadap orang-orang keturunan etnis Tionghoa pada tahun 1998, ada juga
kejadian kerusuhan Ambon pada tahun 1999, ada juga kerusuhan sampit di tahun
2001, dan kejadian-kejadian yang melibatkan peperangan antar etnis. Semua kejadian
besar itu terkadang dipicu oleh satu peristiwa kecil dan sederhana. Api kecil
yang dikelilingi bahan yang mudah terbakar sehingga terciptalah kebakaran yang
besar.
Ketika kita
berbicara mengenai peperangan antar etnis, maka kita seharusnya juga menamakan
peperangan antar etnis itu sebagai perang saudara. Bagaimana pun, setiap etnis,
suku, ras, atau pun agama diikat oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia
bukan hanya negara orang Kristen, bukan hanya negara orang Islam, bukan juga negara
dari suku atau etnis tertentu, tetapi Indonesia adalah negara yang berdiri
oleh karena semua suku, etnis, ras, dan agama yang ada di dalamnya saling
bekerja sama. Menarik untuk kita perhatikan bahwa peristiwa-peristiwa kelam
dalam sejarah Indonesia membawa Bangsa Indonesia berjalan menujuk keadaan yang
lebih baik. Ada berbagai gerakan-gerakan perdamaian yang diusung untuk
memulihkan hubungan-hubungan yang rusak di masa lalu, sebagai contoh, Gong
Perdamaian di Ambon pada tahun 2009 adalah tanda perdamaian yang diupayakan
setelah melalui peristiwa kerusuhan. Selain itu, ada juga Tugu Perdamaian
Sampit yang dibangun dan diresmikan pada tahun 2015 sebagai tanda perdamaian
atas kerusuhan etnis yang terjadi di Sampit. Upaya-upaya untuk memulihkan
kembali hubungan yang rusak ini adalah suatu cara untuk menghadirkan damai
sejahtera bagi setiap orang. Pemulihan hubungan yang rusak adalah cara Tuhan
untuk membangun kembali jemabatan yang rusak agar umat manusia mampu merasakan
kedatangan dari Kerajaan Allah.
Pembacaan
Alkitab kita juga berbicara tentang pemulihan hubungan yang rusak. Yohanes 4 : 1 – 4 merupakan pembuka dari
peristiwa perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria. Ada latar belakang yang memberikan
penjelasan kepada kita tentang tujuan Yesus melewati daerah Samaria untuk
sampai pada Galilea. Yesus meninggalkan Yudea karena Ia mengetahui bahwa orang
Farisi mulai memperhatikan pergerakan-Nya. Banyak orang mengikuti Yesus, bahkan
lebih banyak daripada orang-orang yang mengikuti Yohanes Pembaptis. Sebagai penjaga
kemurnian Hukum Taurat, orang-orang Farisi memandang Yohanes Pembaptis sebagai
ancaman. Saat mereka melihat pengikut Yesus lebih banyak dari Yohanes Pembaptis
maka mereka pun mulai menilai dan melihat Yesus juga sebagai ancaman. Yesus
mengetahui niatan jahat orang-orang Farisi dan Ia meninggalkan Yudea. Sesungguhnya
Yesus tidak perlu melalui kota Samaria untuk sampai pada Galilea. Namun, ayat 4
menyatakan bahwa “Ia harus…” yang berarti ada sesuatu yang hendak
dilakukan Yesus di Samaria.
Pemulihan
hubungan yang rusak itu dimulai dari tempat-tempat yang meninggalkan kenangan-kenangan
peristiwa kelam di masa lalu. Samaria adalah kota di daerah Israel Utara yang dipandang
sebagai tempat yang hina bagi orang-orang Yahudi di Yerusalem. Ada sejarah
panjang yang kelam dan penuh kekerasan antara orang-orang Samaria, ibukota Israel
Utara, dan orang-orang Yerusalem, ibukota Israel Selatan. Bagi orang-orang Yahudi,
orang-orang Samaria melakukan pengkhianatan di masa lalu pada waktu Raja Hosea
Dalam 2 Raja-raja 17. Orang-orang Yahudi di Yerusalem memandang orang Samaria
sebagai pengkhianat dan juga rendah karena kawin campur yang terjadi antara Yahudi
Samaria dan non-Yahudi. Tidak hanya soal kota Samaria, Kota Sikhar yang
disebutkan dalam ayat 5 merujuk kepada suatu nama dalam Perjanjian Lama yaitu
Sikhem (Kejadian 33 : 19). Peristiwa berdarah juga terjadi di kota Sikhar ini
yaitu saat anak-anak Yakub membantai Sikhem dan seluruh penduduk kota (Kejadian
34 : 25). Peristiwa berdarah ini menunjukkan bahwa Samaria dan kota Sikhar
merupakan tempat yang menjadi kenangan peristiwa kelam di masa lalu. Ketika
Yesus tiba di kota Sikhar, Ia merasa lelah karena waktu menunjukkan pukul dua
belas siang dan Ia berjalan cukup jauh. Meskipun Yesus adalah Tuhan, tetapi
sebagai manusia, tubuh-Nya tetap merasakan penderitaan yang dirasakan manusia
yaitu rasa letih, rasa haus, rasa lapar, dan lainnya.
Pemulihan
akan hubungan yang rusak itu dimulai dari satu tindakan kecil yang sederhana. Dalam ayat 7, Yesus melakukan
tindakan yang sangat sederhana yaitu meminta minum. Tindakan sederhana ini
sesungguhnya mempunyai dampak yang sangat besar. Seorang lelaki Yahudi
meminta minum kepada perempuan Samaria adalah hal yang tidak biasa.
Orang-orang Yahudi memandang orang-orang Samaria sebagai musuh. Begitu juga,
orang-orang Samaria memandang orang-orang Yahudi sebagai musuh. Meskipun,
Samaria dan Yahudi sesungguhnya adalah saudara, tetapi hubungan persaudaraan
itu telah rusak karena serangkaian peristiwa kelam di masa lalu. Tindakan
sederhana yang dilakukan Yesus adalah suatu upaya untuk membangun kembali jembatan
yang sudah rusak. Yesus tahu bahwa perempuan Samaria itu akan kebingungan
melihat diri-Nya sebagai laki-laki Yahudi meminta minuman, tetapi Yesus tetap
meminta bukan hanya karena persoalan haus. Lebih daripada itu, Yesus
berupaya memulihkan hubungan yang sudah rusak karena sejarah yang kelam. Murid-murid
Yesus tidak sedang bersama-Nya pada saat Ia berbicara dengan perempuan Samaria
itu. Kita bisa memprediksi bahwa jika murid-murid Yesus ada di sana, mereka
mungkin mencegah Yesus untuk berbicara dengan perempuan Samaria itu.
Satu
langkah kecil untuk seorang manusia, satu langkah besar untuk umat manusia. Pemulihan akan hubungan yang rusak
terkadang tidak harus selalu dimulai dari hal-hal yang besar. Kita tidak perlu
berpikir harus membuat Gong Perdamaian atau membangun Tugu Perdamaian untuk
mulai memperbaiki hubungan-hubungan yang sudah rusak. Kita perlu menggali
kembali ingatan kita akan hubungan-hubungan yang kurang harmonis di dalam
keluarga atau mungkin dengan teman-teman kita. Mungkin ada persoalan-persoalan
yang tidak terselesaikan dan kita memilih untuk melupakan begitu saja. Setiap
persoalan harus dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang tulus. Jika kita
memiliki kesalahan-kesalahan di masa lalu kepada seseorang, maka tindakan sederhana
yang dapat kita lakukan adalah meminta maaf dengan tulus. Jika seseorang
berbuat kesalahan kepada kita dan kita masih sulit untuk mengampuni orang itu,
maka tindakan kecil sederhana yang dapat kita lakukan adalah mengampuni orang
itu. Ingatlah! Yesus mengampuni manusia yang menyalibkan diri-Nya. Ia juga
berdoa bagi mereka yang membenci diri-Nya! Sebagai pengikut Yesus, kita didorong
untuk memulihkan diri kita dari segala sesuatu yang rusak di masa lalu.
Tujuannya agar kita tidak hidup lagi dalam lingkaran dosa yang sudah mendarah
daging, tetapi agar kita hidup di dalam damai sejahtera yang merupakan tanda
kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini.
Minggu
Prapaskah Ke VI yang bernama Invocavit mempunyai makna berserulah kepada-Ku.
Dalam penghayatan menjalani
minggu Prapaskah Ke VI ini, kita diingatkan kembali untuk berseru kepada Tuhan.
Berseru berarti kita membutuhkan pertolongan dan kekuatan dari Tuhan untuk
memperbaiki berbagai hubungan-hubungan kita yang sudah rusak di masa lalu. Ketika
kita berseru kepada-Nya maka kuasa Roh Kudus akan menopang dan memampukan kita
untuk melakukan pemulihan baik bagi diri kita maupun bagi orang-orang yang
mungkin mempunyai masalah dengan kita. Jangan berhenti untuk berseru kepada-Nya
dan mengupayakan perdamaian kemana pun kita pergi dan di mana pun kita berada.
Tuhan Yesus memberkati Kita Semua!
Comments
Post a Comment